12 Ayat Alkitab Tentang Sia-Sia


Ada hal-hal tertentu yang kita lakukan dalam hidup yang terkadang kita anggap penting atau baik, tetapi kemudian kita menemukan bahwa itu hanyalah ilusi. Begitu banyak orang yang memimpikan ketenaran, antara lain memiliki banyak uang. 

Tetapi semua ini hanyalah ilusi, karena uang tidak memiliki kekuatan untuk membawa kebahagiaan, apalagi kesehatan, hanya Tuhan yang membantu kita dalam segala hal yang kita butuhkan. 


Meskipun demikian, tidak ada kekayaan di bumi ini yang akan masuk surga, karena Tuhan hanya ingin anak-anak pilihan-Nya tinggal di Kerajaan-Nya. Oleh karena itu, jangan habiskan waktu Anda untuk memikirkan kekayaan, atau bekerja keras untuk menjadi kaya, atau bahkan berpikir untuk lebih menikmati hidup, seperti berhubungan dengan banyak orang, menikmati pesta duniawi, dll. Ketahuilah bahwa ini semua hanyalah ilusi. 


Daripada mengkhawatirkan banyak hal, lebihkan waktumu untuk Tuhan. Jika khawatir, khawatir tentang jiwa Anda diselamatkan, berusaha untuk menyenangkan Tuhan. Jika khawatir dengan masalah pribadi, itu hanya akan menjadi ilusi, karena tidak akan mengarah pada apa pun, sebaliknya, lebih banyak mengabdi kepada Tuhan, berdoa dan mencari-Nya, pasti akan muncul hasil yang baik.


Ayub 41: 9 
Bersinnya menyinarkan cahaya, matanya laksana merekahnya fajar.


Amsal 21: 6 
Memperoleh harta benda dengan lidah dusta adalah kesia-siaan yang lenyap dari orang yang mencari maut.


Ayub 7: 3 
demikianlah pergi kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan.


Pengkhotbah 1: 1-6 
Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem. Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari terbit, matahari terbit, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.


Pengkhotbah 1: 7-10 
Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: ”Lihatlah, ini baru!”? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada.


Pengkhotbah 1: 11-15 
Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datang tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya. Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem. Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan memperhatikan dengan hikmat segala sesuatu yang terjadi di bawah langit. Itu pekerjaan yang menyusahkan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan diri. Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Yang bongkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung.


Pengkhotbah 1: 16-18 
Aku berkata dalam hati: ”Lihatlah, aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku, dan hatiku telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan.” Aku telah membulatkan hatiku untuk memahami hikmat dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan. Tetapi aku menyadari bahwa hal ini adalah usaha menjaring angin, karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan.


Pengkhotbah 2: 1-6 
Aku berkata dalam hati: ”Mari, aku menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan! Tetapi lihat, juga itu pun sia-sia. ” Tentang tertawa aku berkata: ”Itu bodoh!”, Dan mengenai kegirangan: ”Apa gunanya?” Aku peduli dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, - sudah akal budiku tetap memimpin dengan hikmat -, dan dengan memperoleh kebebalan, sampai aku melihat apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka yang pendek itu. Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, mendidik bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun anggur; aku mengusahakan bagiku kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan; aku ingin bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda.


Pengkhotbah 2: 7-11 
Aku membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahku; Aku punya banyak sapi dan kambing domba melebihi siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku. Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku. Aku tidak membintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari kebahagiaan apa pun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.


Pengkhotbah 2: 11-14 
 Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari. Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan, sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Hanya apa yang telah dilakukan orang. Dan aku melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan. Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua.


Pengkhotbah 2: 15-19 
 Maka aku berkata dalam hati: ”Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat? ” Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun sia-sia. Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! Oleh sebab itu aku tahu hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Aku hates segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku. Dan siapakah yang melihat apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan mempergunakan hikmat. Ini pun sia-sia.


Pengkhotbah 2: 20-26 
Dengan demikian aku mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari. Sebab, kalau ada orang berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus meninggalkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar. Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang didasarkan pada jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari dia tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? Karena kepada orang yang dikenan-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan, tetapi orang berdosa ditugaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang kemudian harus diberikannya kepada orang yang dikenan Allah. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Facebook